Ratusan Kepala Keluarga di Labuhanbatu Utara Terancam Diusir, Di Mana Pemerintah? 

Media Analis Indonesia, Labuhanbatu –  Potret buruk ketimpangan sosial terjadi di Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara tepatnya disekitar Perkebunan Padang Halaban.

Berjarak tidak jauh dari kediaman dan rumah Bupati Labuhanbatu Utara dengan seluruh fasilitasnya. Sementara itu dikelilingi oleh perkebunan sawit PT. Smart yang menguasai lebih kurang 7000 Ha.

Read More

Ironisnya, ratusan kepala keluarga justru saat ini terancam akan diusir melalui proses eksekusi oleh Pengadilan Negeri Rantau Prapat.

Dari fakta sejarah yang ada, tidak ada yang bisa pungkiri dan membantah, bahwa mereka dulu adalah pemilik tanah yang sekarang melalui Hak Guna Usaha (HGU) dikuasai oleh perkebunan, mereka akan diusir dari tanah mereka sendiri. Dihadapkan dengan proses hukum, melalui Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat Nomor 65/pdt.G/2013/PN Rap, untuk selanjutnya melalui penetapan PN Rantauprapat no W2.U13/988/HT.04.10/III/2020, prihal tentang Pelaksanaan Eksekusi, masyarakat yang menguasai lahan sejak tahun 2009 seluas 87 Ha akan kehilangan hak atas tanah yang saat ini mereka manfaatkan sebagai tempat tinggal sekaligus bercocok tanam.

Oleh karenanya kondisi saat ini, dimana sebagai bangsa besar yang sedang dihadapkan dengan persoalan ekonomi akibat wabah virus, dapat kita jadikan momentum untuk menjaga keseimbangan agar ketimpangan sosial tidak semakin melebar antara yang kaya dengan yang miskin.

Situasi demikian tentu memberikan “efek domino” bagi kualitas ekonomi warga negara khususnya petani di pedesaan yang masih mayoritas sebagai buruh tani yang tidak memiliki alat produksi.

Dengan kata lain masih menggantungkan hidupnya dengan “menjual” tenaganya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari.

Jangankan memiliki alat produksi (tanah) sebagai sumber penghidupan, bahkan masih banyak warga yang tidak memiliki tempat tinggal sebagai tempat berlindung mereka dan keluarganya.

Bupati Memiliki Tanggung Jawab dengan mengedepankan Hak Asasi Manusia.

Sebagai pemangku kewajiban, negara memiliki tanggung jawab perlindungan terhadap rakyatnya atas Pelanggaran Ham yang dilakukan oleh siapapun. Perwakilan negara pada level daerah adalah kepala daerah, diantaranya Bupati.

Dalam jabatan Bupati ada kewajiban Negara, sehingga dalam perspektif Ham didalam dirinya melekat kewajiban asasi manusia dan kewajiban itu juga sebagai kewajiban konstitusional.

Terkait dengan kondisi dan keadaan masyarakat Padang Halaban yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS), di Labuhanbatu Utara Propinsi Sumatera Utara yang hari ini sedang berkonflik dengan perkebunan, akan lebih patut dan layak penyelesaiannya dilakukan dengan membuka ruang dialog untuk mencegah terjadinya praktik pelanggaran HAM yang lebih meluas.

Tentu jika dihadapkan dengan situasi adanya putusan hukum, maka perlu kita pahami bersama sejatinya tujuan penerapan hukum itu dapat memberikan rasa keadilan.

Selain itu Presiden Jokowi juga menegaskan dalam Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, dimana kewajiban menyediakan sedikitnya 20 % (dua puluh persen) dari luas tanah negara yang diberikan kepada pemegang HGU dalam proses pemberian, perpanjangan dan pembaruan haknya, sebagai manifestasi dari objek reforma agraria.

Oleh karena itu, negara sebagai pemangku kewajiban sejatinya mampu menjadi jembatan dan bersungguh-sungguh untuk memfasilitasi penyelesaian konflik antara KTPHS dengan PT. Smart tanpa harus mengedepankan Undang-undang, tindakan eksekusi yang justru memberi dampak buruk bagi kedua belah pihak.

Dimana Peran Bupati menjadi sangat sentral untuk dapat menunaikan tanggung jawabnya sebagai pemangku kewajiban atas hak asasi dan refresentatif negara di daerah agar tidak dianggap sedang melakukan ommision (pembiaran) terhadap praktik pelanggaran HAM. Karena praktik pembiaran atas pelanggaran HAM adalah bagian dari pelanggar HAM itu sendiri.

(Hendra H.R.P)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *